Ketua Umum PP KAMMI: Apa Standar Kekuatan Suatu Pergerakan?
- Riyan
- Dec 5, 2017
- 4 min read

Prosesi Pelantikan Pengurus daerah KAMMI Malang sudah selesai. Pengurus baru periode 2017 - 2019 juga telah legal untuk berkreasi menyusun program kerja.
Pada pelantikan yang dilakukan Ahad (3/12) kemarin itu, ada beberapa sambutan yang menarik untuk dicermati. Salah satu sambutan yang sangat berkesan datang dari ketua Umum Pengurus Pusat (PP) KAMMI, Kartika Nur Rakhman.
“Setelah Reformasi ’98, apa sesungguhnya standart kekuatan sebuah gerakan?” tanya orang nomor satu di KAMMI itu membuka sambutannya.
Thirty Years War. Perang dunia satu dan dua berlangsung dan terdapat satu 'barang' jualan yang laku, yaitu keamanan. Dari sanalah embrio nation state terbentuk. Setelah itu dibentuklah aliansi-aliansi antar-negara untuk perkuat teritorial. Amerika Serikat (AS) bersama sekutunya membuat NATO dan Uni Soviet bereaksi dengan munculkan Pakta Warasawa. AS pun mendirikan pangkalan militer di berbagai negara dengan dalih untuk perkuat keamanan internasional.
“Jaman sekolah dasar dulu, saya masih ingat ada buku RPUL. Buku ilmu sosial jaman SD. Kita menghafal aliansi di Atlantik itu namanya apa, aliansi di Asia Tenggara namanya apa, dan seterusnya. Selain juga diharuskan menghafal P4,” ujar mas Nur sambil tertawa.
Itulah aliansi-aliansi dengan standar yang namanya standar militer. Semakin besar kekuatan militer suatu bangsa, maka semakin besarlah suatu bangsa tersebut dihadapan bangsa lainnya. Semakin besar anggaran militer suatu bangsa, maka semakin besarlah kedudukan bangsa tersebut.
“Nah, akhir-akhir inilah kemudian standar ini didefiniskan ulang. Dimulai dengan revolusi teknologi informasi. Maka itu dibaca ulang oleh umat manusia. Apakah memang militer merupakan satu-satunya standar kemajuan sebuah bangsa?” ujar pria yang berasal dari Yogyakarta itu.
Setelah sebelumnya kelahiran sejarah itu terjadi di era Soviet, kemudian runtuhnya tembok Berlin telah mengakhiri kejayaan Soviet di Jerman, lalu akhirnya AS menjadi satu-satuya kekuatan yang tiada banding.
Namun semua itu berlaku sampai akhirnya kita melihat dengan jelas bagaimana AS sekarang merasa kelabakan dengan kebangkitan salah satu negara sebagai kekuatan baru dunia, China. Kebangkitan dari satu negara yang sudah lama tertidur dalam goresan sejarah.
Tapi narasi yang muncul saat ini berbeda. Narasi tersebut kita kenal dengan pembangunan infrastruktur, dan hal tersebut juga berlaku di Indonesia.
“Apa yang sebenarnya sedang terjadi?” pria yang sebelumnya menjabat sebagai ketua bidang Kaderisasi PP KAMMI itu kembali bertanya.
Ia pun menyambung pertanyaannya dengan sebuah pernyataan.
“Apa yang sebenarnya sedang terjadi adalah penentuan standar baru di dalam suatu bangsa atau negara itu besar, kuat, kokoh, tahan,” jelasnya.

Ceritanya disambung dengan dinamika yang terjadi di Timur Tengah.
“Ada sebuah negara kecil, di antara negara-negara teluk. Gabungan negara teluk saja tidak begitu besar. Ini negara yang kecil. Namanya Qatar,” kata pria yang mudah tersenyum ini.
“Suatu saat, suatu hari. Hari yang paling tidak beruntung bagi negara Qatar. Tiba-tiba saja ia diembargo negera-negara teluk yang selama ini jadi aliansinya yang paling kuat. Saudi jadi pemimpin pasukan yang siap membombardir Qatar. Pasukan sudah mengepung perbatasan Qatar. Tetapi seketika berita embargo tersebar, tiba-tiba pula Turki langsung mengirim pasukan. Uniknya sampai sekarang, Qatar belum atau tidak bisa ditaklukkan oleh negara-negara teluk,” mas Nur masih bercerita.
Cerita dari ketua umum yang bulan ini akan lengser itu begitu menarik. Apa yang sebenarnya terjadi?
Akhirnya mas Nur mulai memberi jawaban.
“Rupanya Qatar membangun jaringan bisnis dan jaringan diplomatiknya ke seluruh dunia. Bukan hanya dengan negara-negara teluk saja, sebagai aliansi tradisional. Dia membangun jaringan ke seluruh dunia. Bahkan sampai klub sepak bola Barcelona ia beli,” begitu mas Nur mulai memberi analogi sembari kemudian bercanda soal Arema Malang dan PSIM Yogyakarta sambil tertawa.
Kita tahu, Qatar negara kecil itu, masih bisa bertahan hingga saat ini meski digeruduk negera-negara teluk di sekitarnya. Tapi apa kata kuncinya?
“Kata kuncinya adalah connectivity di seluruh dunia. Jaringan bisninya Qatar itu berhasil menembus pusat-pusat jangtung bisnis dunia. Dan dengan demikian, orang tidak bisa begitu saja meremehkan. Atau lihat saja bagaimana Amerika begitu bencinya dengan China, bisa nggak Amerika menantang perang lawan China dalam waktu dekat ini? Saya sanksi. Karena bisnis China yang di Amerika itu banyak sekali,” mas Nur hampir sampai di ujung cerita.
“Kemampuan membangun konektivitas itulah yang sekarang mulai dipikirkan orang menjadi bagian dari tumpuan kekuatan suatu bangsa. Inilah yang seharusnya mejadi definisi yang perlu kita pertimbangkan,” mas Nur mulai memberi jawaban.
“Dalam beberapa tahun setelah kelahiran KAMMI tahun ’98, aksi demonstrasi menjadi kekuatan dan kemudian menjadi definisi kekuatan. Beberapa kali kita bergerak, beberapa kali kita melakukan aksi-aksi besar, dan beberapa kali kita bahkan berhadapan dengan rezim, serta berapa kali pula rezim bisa turun,” ujarnya kemudian.
Tetapi kemudian, di zaman yang ter-connectivity seperti sekarang ini, apakah hal itu menjadi satu-satunya kekuatan kita? Lagi-lagi ini yang perlu kita pikirkan ulang.
“Jika kita melihat tren dunia, tren global, yang kemudian menjadikan konektivitas itu sebagai suatu ukuran, maka nampaknya itu perlu menjadi pikiran kita”, tegasnya.
Mas Nur lalu menyebut kelompok gerakan mahasiswa Cipayung yang berisi organisasi-organisasi mahasiswa senior. KAMMI tidak termasuk di dalamnya karena kelahirannya yang berselang jauh dari para pendahulunya. Namun KAMMI kemudian masuk dalam kelompok Cipayung Plus.
“Kemampuan membangun konektivitas itulah yang sekarang sedang kita upayakan. Terbaru kita membangun sebuah aliansi ekonomi. Alansi yang jaringannya dari ujung ke ujung. Kemarin kita bikin kegiatan di Cibodas. Jambore Kebangsaan dan Kewirausahaan kemarin itu telah melahirkan kelompok baru yang beranama kelompok Cibodas. Spektrumnya dari ujung ke ujung. Ada kelompok nasionalis diwakili GMNI, ada kelompok Katolik diwakili PMKRI, ada kelompok Kristen diwakili oleh GMKI, ada kelompok Hindu diwakili KMHDI, ada kelompok Budha diwakili HIKMAHBUDHI, ada kelompok Islam yang diwakili PMII, HMI, KAMMI, dan sebetulnya ada IMM pula yang sejak awal bergabung tapi karena masalah internal cukup disayangkan akhirnya keluar. Ini project kebangsaan kita, project internasional kita, akan membangun koalisi permanen baru bagi gerakan mahasiswa di kemudian hari. Konektivitas, itulah kata kuncinya yang kita lakukan akhir-akhir ini”, ungkap mas Nur.
“Bahkan Qatar negara kecil yang sudah dihajar habis-habisan oleh aliansi tidak bisa dengan mudah takluk karena memiliki kenektivitas yang luar biasa di seluruh dunia. Kemudian seberapa bencinya Amerika Serikat pada China, dia tidak serta merta bisa menghancurkan China karena konektivitas. Kekuatan konektivitas inilah yang harus menjadi salah satu ukuran kita sebagai sebuah gerakan. Kalau kita tidak melakukan pembelajaran-pembelajaran yang mendewasakan kita, kita akan tertinggal oleh zaman”, tandasnya.
Terakhir ini adalah zaman baru. Zaman yang dahulu dipikirkan oleh para filsuf, orang-orang pemikir, tidak dipikirkan oleh orang-orang praktis. Mas Nur lalu mengajak berpikir dengan mengutip kata-kata Bung Hatta yang juga sebenarnya mengutip kata-kata seorang filsuf bernama Skiller.
“Zamannya zaman besar, tetapi zaman yang besar itu yang menghuni manusia-manusia kerdil. Janganlah kita menjadi manusia kerdil yang sekarang zaman baru telah lahir”, tutupnya. []
Reporter: Riyan Editor: Amin
Foto: Athiyyah, Hasnania, Aditya, Meilani
Comments