KAMMI dan Cinta
- Ara
- Nov 25, 2017
- 3 min read

"Saya ingin meredefinisi cinta dari yang awalnya lekat dengan pasrah, menerima apa adanya, dan percaya begitu saja, menjadi kritik yang lekat dengan memperbaiki, kontribusi, dan membangun".
Kata-kata itu diucapkan penulis buku Mencintai KAMMI dengan Kritik, Eri Muriyan dalam Diskusi Muslim Negarawan di Gazebo Teknik UMM pada Jumat (24/11) sore kemarin. Disneg yang dilaksanakan oleh Departemen Kebijakan Publik KAMMI UMM Raya itu, memasuki pertemuan yang kelima.
Sejak pertama kali dilakukan hingga saat ini, Disneg telah terselenggara sebanyak lima kali pertemuan. Adapun diskusi keempat yang dilaksanakan pekan lalu dan yang kelima kemarin sengaja mengambil bedah buku, dengan tema "Cinta dan KAMMI".
Kepala Departemen Kebijakan Publik KAMMI UMM, Mutiara Sadjad mengatakan, “Tema Cinta dan KAMMI diambil karena kami ingin mengajak peserta diskusi untuk menemukan bagaimana caranya mencintai KAMMI dan bagaimana mengekspresikan cinta itu sendiri".
Buku pertama yang dibedah adalah buku Mengapa Aku Mencintai KAMMI karya Imron Rosyadi, dkk. Buku yang merekam kisah-kisah perjuangan KAMMI di medio tahun 2000an. Buku ini dibedah pekan lalu oleh mantan Ketua KAMMI UMM Raya periode 2016-2017, Muhajirin.
Muhajirin menyampaikan salah satu kisah yang patut dijadikan inspirasi adalah perjuangan 4 akhwat yang harus mengurus KAMMI Daerah Madiun. No Ikhwan, No Cry adalah judul pada kisah perjuangan 4 akhwat ini pada buku yang terbit tahun 2010 itu.
Hal yang membuat tulisan ini menjadi sangat menarik adalah perjuangan seorang akhwat yang bukan kader KAMMI (belum pernah ikut DM), tapi dengan ikhlas dan sabar mengurus KAMMI. Walaupun banyak yang menyarankannya untuk berhenti, tapi tidak membuat akhwat ini mundur. Ia terus mengurus KAMMI, berorasi dan bertanggung jawab terhadap segala hal di KAMMI.
"Cintanya yang tulus terhadap jalan dakwah tidak membuatnya sedikitpun berhenti. Maka, ketika kita ingin berhenti karena tidak ada seorang pun yang membantu, ingatlah kisah ini. Kisah yang mengharuskanmu untuk yakin bahwa Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya yang berjuang di jalan dakwah", ungkap lulusan Fakultas Ekonomi UMM itu.
Kisah No Ikhwan No Cry merupakan salah satu kisah yang disampaikan oleh Muhajirin untuk membuka diskusi keempat. Selain menyampaikan kisah-kisah inspiratif lainnya, pembedah juga menyampaikan bahwa untuk mencintai KAMMI kita hanya perlu untuk mengenal orang-orang di dalamnya, mengikuti segala jenjang pengkaderannya, dan aktif di setiap kegiatannya.
"Maka kita akan menemukan alasan untuk mencintai KAMMI, sehingga tidak ada alasan untuk berhenti, walaupun seorang diri", pungkas Pengurus Daerah KAMMI Malang yang sekarang menempuh studi pasca sarjana Ekonomi Syariah di UIN Maliki Malang itu.
Selanjutnya, Disneg kelima kemarin bersama Eri Muriyan membedah buku Mencintai KAMMI dengan Kritik. Buku ini terbit pertama kali pada bulan Maret 2017.
Di awal diskusi, Eri menyampaikan bahwa kata "Aku Ingin Mencintai KAMMI" terinspisasi dari sebuah puisi yang berjudul "Aku Ingin" karya Sapardi Djoko Damono.
Berawal dari puisi itu, akhirnya kalimat "Mencintai KAMMI dengan Sederhana" mencuat dan banyak digunakan kader untuk mengekpresikan cintanya terhadap KAMMI.
"Akan tetapi, buku ini tidak akan membahas bagaimana mencintai KAMMI, ini bukan buku terori, melainkan buku ini hadir untuk merefleksikan alur pengkaderan dan pergerakan KAMMI itu sendiri dalam bentuk opini, kritik, dan gagasan"; ujar Eri.
Kata kritik pun dihadirkan oleh penulis sebagai ungkapan bahwa mencintai sesuatu bukan berarti harus menerima apa adanya tanpa merasa perlu untuk melakukan kritik. Karena kritik pun harus memenuhi syarat, yaitu harus mengenal dan memahami apa yang dikritik. Sehingga melakukan sebuah kritik yang tanpa dibarengi mengenal dan memahami apa yang dikritik tidaklah bisa disebut sebagai kritik. Kritik semacam itu hanya akan menghadirkan rangkaian kata yang tidak berarti.
Maka, penulis menulis buku itu sebagai bentuk cinta terhadap apa yang dikritiknya, yaitu KAMMI itu sendiri.
Terakhir, saudara Eri mengajak seluruh peserta diskusi untuk lebih kritis terhadap segala hal di sekitar kita, terutama terhadap KAMMI.
"Walaupun sebenarnya sebuah kritik sah disebut kritik tanpa perlu memberikan solusi, ini yang banyak muncul dan bersifat destruktif. Dalam Al Quran sering disebut kata afala tatafakkarun (apakah kalian tidak berpikir). Hari ini rasa-rasanya kritik harus dibarengi paparan latar belakang yang jelas beserta tawaran alternatifnya. Kritik adalah cinta yang bertanggungjawab".
Maka, seorang kader KAMMI harus mampu berada di dua sisi, yaitu berada pada sisi yang siap mengkritisi segala sesuatu dan berada pada sisi yang mampu menerima segala kritik, mencari solusi, dan mengimplemantasikannya. Begitu salah satu wujud cinta pada KAMMI. []
Reporter: Ara Editor: Riyan
Commentaires